
Jakarta –
Bank Indonesia (BI) membeberkan sejumlah tantangan dalam mempertahankan stabilitas metode keuangan (SSK) di Indonesia. Setidaknya ada tiga tantangan yang mesti diantisipasi.
Deputi Gubernur BI Juda Agung menyampaikan tantangan pertama dalam mempertahankan SSK yaitu dari segi global. Pasalnya dinamika ekonomi dan keuangan global meningkat dengan cepat.
“Dinamika ekonomi dan keuangan global sanggup meningkat begitu cepat, tergolong risiko geopolitik yang kita saksikan dalam hari-hari ini di Timur Tengah yang tentunya memiliki implikasi terhadap ekonomi baik itu harga minyak dan seterusnya yang tentunya ini risiko yang mesti kita cermati dan kita kelola dengan baik ke depan,” kata Juda Agung dalam Peluncuran Buku Kajian Stabilitas Keuangan No. 43 dan Kalkulator Hijau di Gedung BI, Jakarta Pusat, Rabu (2/10/2024).
Tantangan kedua yaitu meningkatnya risiko operasional yang timbul dari digitalisasi keuangan. Misalnya bahaya siber yang kian marak terjadi dengan intensitas dan kompleksitas yang kian meningkat sampai membuat risiko keselamatan bagi data pelanggan.
“Digitalisasi tentunya menenteng faedah yang besar bagi perekonomian kita dalam bentuk saluran keuangan yang lebih gampang dan akan mendorong transformasi ekonomi. Namun kita mesti menyadari faedah tersebut tiba diikuti dengan risiko gres yang mesti kita antisipasi,” imbuhnya.
Baca juga: BI Beberkan Kondisi Ekonomi RI Meski Ada Deflasi Lima Bulan Beruntun |
Selain itu, digitalisasi keuangan juga mengembangkan risiko fraud. Peningkatan penggunaan platform digital disebut membuka kesempatan penipuan seumpama pencurian identitas, transaksi palsu, manipulasi data dan sebagainya yang menghancurkan reputasi dan dogma penduduk terhadap metode keuangan Indonesia.
“BI bareng industri kini ini memperkuat fraud detection system, metode deteksi terhadap terjadinya fraud untuk gotong royong mendeteksi terjadinya fraud itu. Sekarang telah kami lakukan,” imbuhnya.
Tantangan ketiga merupakan risiko pergantian iklim. Saat ini risiko pergantian iklim tidak hanya berhubungan dengan risiko fisik seumpama banjir dan kekeringan, tapi juga mengarah terhadap risiko transisi yang kian kasatmata seumpama penurunan nilai aset berbasis energi fosil ataupun kesusahan pendanaan jawaban kesibukan bisnis yang bersifat brown.
“Risiko iklim ini menduduki peringkat kedua dalam rentang waktu 2 tahun ke depan dan menduduki peringkat pertama selaku risiko paling besar dalam 10 tahun ke depan. Oleh alasannya merupakan itu, penting bagi sektor keuangan untuk mengintegrasikan risiko pergantian iklim dalam proses bisnis,” tambahnya.
Simak Video: Jokowi Ungkap Perang Hamas-Israel Bisa Bikin Harga Minyak Dunia Naik